malire video sample (lacandella)

Kamis, 04 Juni 2009

malire profile

Perubahan dalam konteks kebudayaan merupakan sebuah keniscayaan, adalah tidak mungkinan bagi manusia untuk mampu menghindari diri dari kepastian tersebut. Khususnya dalam bidang seni, yang dalam beberapa hal, perubahan tersebut selalu disikapi oleh sekurang-kurangnya dua hal, sikap yang pertama adalah sikap menentang perubahan dan cenderung bersikaf protektif terhadap objek tertentu dan selalu berusaha menghindari diri dari proses perubahan tersebut, biasanya sikap seperti ini ditunjukan oleh masyarakat fatalis dan konservatoris yang terlalu mengagungkan tradisi. Sikap kedua adalah sikap menerima dengan seluas-luasnnya tanpa melakukan proses filtrasi, terutama sikap keterbukaan menerima perubahan ini dilandasi oleh perubahan yang diakibatkan adannya pengaruh dari kebudayaan luar yang dianggapnya lebih baik, sikap seperti ini biasannya ditunjukkan oleh masyarakat yang tengah dalam kondisi krisis identitas, dan tidak memiliki landasan tradisi yang kuat. Yang paling bijaksana adalah sikap proporsional yaitu dengan cara menerima perubahan dengan proses filtrasi, sehingga basis dari kekayaan intelektual tradisi yang masih relevan bisa tetap dipertahankan tetapi dengan melakukan perubahan demi kepentingan kekinian. Sikap seperti ini bukan berarti sikap ambivalen, tetapi sikap yang memang dengan sadar melakukan seleksi terhadap setiap perubahan dalam perjalanan waktu.

Berangkat dari pemikiran tersebut, lahirlah sebuah wadah (organisasi) yang bernama Maliré pada awal tahun 2009 yang diinisiasi oleh; musisi, mahasiswa, alumni dan dosen STSI Bandung. Organisasi ini merupakan organisasi yang berusaha mewadai kreatifitas dalam kerja seni, mengonstruksi pewacanaan terhadap pengkajian budaya juga dan diskusi-diskusi seputar permasalahan budaya.

Maliré sepakat bahwa kebudayaan harus diterjemahkan sebagai kata kerja, bukan kata benda. Kebudayaan hanya akan menjadi pernik tradisi jika diterjemahkan sebagai kata benda, pandangan tersebut berimplikasi pada perilaku manusia yang mengkultuskan kebudayaan sebagai sebuah warisan nenek moyang yang selalu harus dijaga otentisitasnya. Implikasi pemikiran tersebut pada akhirnnya hanya akan menjebak manusia saat ini kepada suatu kondisi tradisional yang mengagungkan masa lalu dan tidak memiliki daya progresifitas terhadap segala bentuk perubahan dan perkembangan masa kini.

Kami sepakat bahawa kebudayaan harus ditempatkan sebagai sebuah proses yang didalammnya terdapat kita –manusia- yang menyadari posisi dan eksistensi, sehingga segala bentuk perubahan harus disikapi secara proporsional, dalam beberapa hal, tidak mungkin mempertahankan pengetahuan lokal tradisional jika sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Maka dari itu proses diskursus dan pewacanaan kembali materi tradisi penting untuk dilakukan, tetapi meskipun demikian, Maliré sangat sadar betul akan potensi dari basis budaya pada setiap kebudayaan yang ada, maka dari itu setiap nilai-nilai budaya lokal yang merepresentasikan budaya Timur penting untuk selalu dijaga, tetapi tentu saja proses proteksi atau konservasi tersebut bukan dengan cara menyimpannya rapat-rapat dan over-reaktif terhadap segala sesuatu yang dianggap ancaman terhadap kelanggsungan nilai-nilai tradisi. Proses konservasi tersebut justru diaplikasikan melalui kegiatan pengangkatan dengan konsep baru tanpa menghilangkan Nilai yang terkandung didalamnya, sehingga, sederhananya proses kegiatan Maliré lebih kepada dekonstruksi materi – rekonstruksi nilai.

Sekurang-kurannya, kegiatan Maliré terdiri dari dua bagian utama, diantarannya;
Pengonstruksian wacana seni yang lebih bersifat diskusi – pengkajian, meliputi:
1. Penelitian
2. Apresiasi
3. Diskusi budaya
Proses kreatif yang bersifat penciptaan karya seni, meliputi:
1. Penciptaan karya komposisi musik
2. Rekonstruksi instrument
3. Dll

Seluruh kegiatan tersebut diatas diharapkan mampu merepleksiskan slogan Malire yaitu, Arts and Culture Study….


Semoga...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar