malire video sample (lacandella)

Senin, 29 Juni 2009

Jumat, 05 Juni 2009

Malire, Memadukan Alat Musik Tradisional dan Modern

Oleh: Yatni Setianingsih
Rabu, 20 Mei 2009 | 00:42 WIB
dipublikasikan kembali dari sumber awal:
http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/7923/malire-memadukan-alat-musik-tradisional-dan-modern

TIDAK banyak band yang memadukan alat musik tradisional dan modern sebagai instrumen alat musiknya. Di antara yang tidak banyak itu ada Malire Band.

Malire adalah sebuah band yang menggunakan alat musik tradisional campuran dari Sunda, Minangkabau, dan alat musik modern barat. World music, begitu istilah para pegiat musik menyebut genre musik seperti yang diusung Malire Band ini.

Malire Band didirikan awal 2009. Ada tiga orang seniman Bandung yang terlibat dalam pendirian Malire. Mereka adalah Bandung Dedy S Hadianda, Didi Wiardi (alm), dan Pepep. Malire sendiri berasal dari bahasa Sunda yang arti singkatnya peduli.

Pendirian band ini sebagai bentuk karya pertunjukan, workshop tentang masalah genekologi karawitan lokal, juga sebagai sistem membuat ritme melalui persilangan birama.

Band ini kelanjutan dari Zithermania, yang didirikan Dedy S Hadianda, yang karena kesibukannya tahun 2003 memilih vakum. Padahal Zithermania sudah melanglang hingga ke Prancis dan Belgia.

Pendirian Malire Band, menurut Dedy, diilhami konsep kreativitas dalam dimensi eksplorasi dan penggalian karawitan Sunda yang tidak dibatasi kebudayaan.

"Band ini tidak mengusung jenis musik apa pun. Jadi, bebas saja mau musik apa saja masuk dalam band ini. Yang terpenting band ini merupakan cara baru mengerjakan musik dengan intelektual, tidak hanya intuisi," ujar Dedy, yang juga dosen komposisi jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, saat berbincang dengan Tribun, Selasa (19/5).

Band ini digawangi oleh sebelas personel. Mereka berasal dari alumni serta mahasiswa STSI dan kampus lain di Bandung. Ada nama Ricky yang memegang biola, lalu Agung memainkan gitar dan Feby Febrian pada bass. Sony memainkan perkusi. Trio Vina, Putri, dan Dida sebagai vokalis. Resa memainkan perkusi dan biola. Cucu pada kendang, Isep memainkan tarempong, alat musik tradisional dari Minangkabau, dan Dedy memegang kacapi sekaligus sebagai komposer dan pendiri band ini.

"Siapa saja bisa masuk menjadi personel ini. Yang terpenting dia memiliki ide untuk band ini. Jika tidak, bagaimana Malire band dapat berkarya," kata Dedy.

Ide dalam bermusik, menurutnya, berasal dari kehidupan sehari-hari dan tidak ada batas apa pun. Segala hal yang ada dalam kehidupan bisa dibuat musik, mulai dari orang pacaran dan sebagainya.

Diakui Dedy, band ini merupakan kelompok studi eksplorasi dalam menyerap kearifan lokal, intelegensi lokal dengan perspektif baru.
Saat ini Malire baru menjelajahi untuk pementasan di Bandung. Juni mendatang akan tampil di Ciamis dan pihaknya berharap dapat sampai ke luar negeri seperti halnya Zithermania.

Terkait apresiasi masyarakat terhadap bandnya, Dedy menjelaskan, masyarakat Indonesia jauh berbeda dengan di luar negeri. Di sana, seni dan budaya dianggap sebagai situs ilmiah dan masyarakatnya sangat kuat dalam mengapresiasi musik, sedangkan di Indonesia seni dan budaya lebih dianggap sebagai hiburan.

"Di luar negeri, masyarakat sangat beda dalam mencermati musik, apresiasi musik sangat kuat, dari mulai pendidikan TK sudah diajarkan tentang musik, sedangkan di Indonesia pengajaran untuk karya seni rendah," imbuhnya.

Untuk komersialisasi, menurutnya, semua musik bisa dikomersialkan tergantung bagaimana manajemen mengemasnya. Karena rumusannya hanya satu: 10 persen kemasan produk dan 90 persen keandalan manajemen. (*)

Kamis, 04 Juni 2009

malire profile

Perubahan dalam konteks kebudayaan merupakan sebuah keniscayaan, adalah tidak mungkinan bagi manusia untuk mampu menghindari diri dari kepastian tersebut. Khususnya dalam bidang seni, yang dalam beberapa hal, perubahan tersebut selalu disikapi oleh sekurang-kurangnya dua hal, sikap yang pertama adalah sikap menentang perubahan dan cenderung bersikaf protektif terhadap objek tertentu dan selalu berusaha menghindari diri dari proses perubahan tersebut, biasanya sikap seperti ini ditunjukan oleh masyarakat fatalis dan konservatoris yang terlalu mengagungkan tradisi. Sikap kedua adalah sikap menerima dengan seluas-luasnnya tanpa melakukan proses filtrasi, terutama sikap keterbukaan menerima perubahan ini dilandasi oleh perubahan yang diakibatkan adannya pengaruh dari kebudayaan luar yang dianggapnya lebih baik, sikap seperti ini biasannya ditunjukkan oleh masyarakat yang tengah dalam kondisi krisis identitas, dan tidak memiliki landasan tradisi yang kuat. Yang paling bijaksana adalah sikap proporsional yaitu dengan cara menerima perubahan dengan proses filtrasi, sehingga basis dari kekayaan intelektual tradisi yang masih relevan bisa tetap dipertahankan tetapi dengan melakukan perubahan demi kepentingan kekinian. Sikap seperti ini bukan berarti sikap ambivalen, tetapi sikap yang memang dengan sadar melakukan seleksi terhadap setiap perubahan dalam perjalanan waktu.

Berangkat dari pemikiran tersebut, lahirlah sebuah wadah (organisasi) yang bernama Maliré pada awal tahun 2009 yang diinisiasi oleh; musisi, mahasiswa, alumni dan dosen STSI Bandung. Organisasi ini merupakan organisasi yang berusaha mewadai kreatifitas dalam kerja seni, mengonstruksi pewacanaan terhadap pengkajian budaya juga dan diskusi-diskusi seputar permasalahan budaya.

Maliré sepakat bahwa kebudayaan harus diterjemahkan sebagai kata kerja, bukan kata benda. Kebudayaan hanya akan menjadi pernik tradisi jika diterjemahkan sebagai kata benda, pandangan tersebut berimplikasi pada perilaku manusia yang mengkultuskan kebudayaan sebagai sebuah warisan nenek moyang yang selalu harus dijaga otentisitasnya. Implikasi pemikiran tersebut pada akhirnnya hanya akan menjebak manusia saat ini kepada suatu kondisi tradisional yang mengagungkan masa lalu dan tidak memiliki daya progresifitas terhadap segala bentuk perubahan dan perkembangan masa kini.

Kami sepakat bahawa kebudayaan harus ditempatkan sebagai sebuah proses yang didalammnya terdapat kita –manusia- yang menyadari posisi dan eksistensi, sehingga segala bentuk perubahan harus disikapi secara proporsional, dalam beberapa hal, tidak mungkin mempertahankan pengetahuan lokal tradisional jika sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Maka dari itu proses diskursus dan pewacanaan kembali materi tradisi penting untuk dilakukan, tetapi meskipun demikian, Maliré sangat sadar betul akan potensi dari basis budaya pada setiap kebudayaan yang ada, maka dari itu setiap nilai-nilai budaya lokal yang merepresentasikan budaya Timur penting untuk selalu dijaga, tetapi tentu saja proses proteksi atau konservasi tersebut bukan dengan cara menyimpannya rapat-rapat dan over-reaktif terhadap segala sesuatu yang dianggap ancaman terhadap kelanggsungan nilai-nilai tradisi. Proses konservasi tersebut justru diaplikasikan melalui kegiatan pengangkatan dengan konsep baru tanpa menghilangkan Nilai yang terkandung didalamnya, sehingga, sederhananya proses kegiatan Maliré lebih kepada dekonstruksi materi – rekonstruksi nilai.

Sekurang-kurannya, kegiatan Maliré terdiri dari dua bagian utama, diantarannya;
Pengonstruksian wacana seni yang lebih bersifat diskusi – pengkajian, meliputi:
1. Penelitian
2. Apresiasi
3. Diskusi budaya
Proses kreatif yang bersifat penciptaan karya seni, meliputi:
1. Penciptaan karya komposisi musik
2. Rekonstruksi instrument
3. Dll

Seluruh kegiatan tersebut diatas diharapkan mampu merepleksiskan slogan Malire yaitu, Arts and Culture Study….


Semoga...

Rabu, 03 Juni 2009

mukadimah

Setiap etnik di Nusantara mempunyai berbagai ragam dan jenis musik khas. Keragaman ini tercipta berdasarkan kegunaan dan fungsinya pada masing-masing etnik. Musik yang muncul dari setiap etnik dengan berbagai latar belakang budaya (non-Barat) biasa disebut dengan musik etnik.

Musik etnik memuat nilai-nilai yang mencerminkan peradaban masyarakatnya, karena musik merupakan ekspresi dan etalase jiwa masyarakat yang menciptakannya. Dalam pandangan bangsa (nation) atau kebangsaan (nationality), musik etnik juga merupakan salah satu identitas suatu bangsa, sehingga keberadaannya menjadi aset nasional yang bisa membuat bangga bagi bangsanya. Sedangkan dalam pandangan spesifik dinamika kehidupan musik, musik-musik etnik merupakan sumber inspirasi bagi seniman penggarap untuk kerja kreatifnya. Musik etnik menyimpan berbagai unsur budaya yang dapat diolah menjadi produk baru dengan nuansa dan spirit baru. Adanya produk baru akan menunjukan bahwa musik-musik etnik hidup secara dinamis.

Dalam situasi dan kondisi sekarang, keberadaan dan kebanggaan terhadap musik etnik di Nusantara tampak paradoksal, karena berkaitan dengan identitas bangsa terdapat permasalahan yang cukup penting untuk diperhatikan, di antaranya: (1) Musik etnik di buminya sendiri kurang mendapat tempat yang selayaknya, dan secara tidak langsung tereliminasi oleh aspirasi dan perilaku musik non-etnik; (2) Perlakuan terhadap musik etnik terlihat tendensius apriori serta tidak mendapat perhatian serius dengan sikap yang progresif; kegiatan kreasi musik kolaborasi pun pada umumnya dilakukan sekedar mengambil manfaat atas keeksotikan musik etnik.

Berdasarkan kenyataan tersebut maka timbul pertanyaan: (1) Jika musik etnik merupakan aset nasional yang dianggap salah satu identitas penting bangsa, mengapa masyarakat sekarang pada umumnya kurang kebanggaan dan tanggungjawab terhadap musik etnik? (2) Bagaimanakah sikap kita terhadap musik etnik?

Untuk menangani persoalan tersebut dibutuhkan gagasan dan aktivitas kreatif progresif. Dengan kenyataan tersebut maka kami membuat upaya penanganan alternatif melalui sebuah lembaga bernama “Maliré”, dengan menawarkan konsep yang mengandung unsur study/riset, dokumentasi, dan publikasi untuk mengusung kembali sikap patrimonial musik etnik dalam bentuk dan dimensi musikal generasi budaya masa kini. Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena merupakan titik tolak argumentatif kegiatan pada lembaga ini. Musik-musik etnik yang telah terserap kemudian dikenalkan, diolah, dan diregenerasikan kembali secara kreatif sesuai dengan paradigma musik yang berlaku mengikuti berbagai aspirasi dan ekspresi musik dalam situasi, kondisi, dan waktu yang berlaku, demi melahirkan pilihan baru karya inovatif musik etnik. Hal ini sejalan dengan fokus ideal lembaga ini, yaitu art and culture study.

Upaya lembaga ini diharapkan bermanfaat bagi keseimbangan kreativitas musik atas berbagai perkembangan fenomena musik dunia. Selain itu ingin ditunjukkan bahwa musik etnik selalu bergerak kreatif sepanjang masa.

Lembaga ini dinamakan “Maliré”, diambil dari kosa kata Sunda yang berarti ‘memperhatikan sekaligus melakukan tindakan positif terhadap suatu keadaan’, dengan harapan bahwa kita semua harus memperhatikan dan melakukan tindakan positif terhadap spirit dan nilai positif dalam musik etnik bagi kemajuan kualitas bangsa dan seni.