malire video sample (lacandella)

Jumat, 05 Juni 2009

Malire, Memadukan Alat Musik Tradisional dan Modern

Oleh: Yatni Setianingsih
Rabu, 20 Mei 2009 | 00:42 WIB
dipublikasikan kembali dari sumber awal:
http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/7923/malire-memadukan-alat-musik-tradisional-dan-modern

TIDAK banyak band yang memadukan alat musik tradisional dan modern sebagai instrumen alat musiknya. Di antara yang tidak banyak itu ada Malire Band.

Malire adalah sebuah band yang menggunakan alat musik tradisional campuran dari Sunda, Minangkabau, dan alat musik modern barat. World music, begitu istilah para pegiat musik menyebut genre musik seperti yang diusung Malire Band ini.

Malire Band didirikan awal 2009. Ada tiga orang seniman Bandung yang terlibat dalam pendirian Malire. Mereka adalah Bandung Dedy S Hadianda, Didi Wiardi (alm), dan Pepep. Malire sendiri berasal dari bahasa Sunda yang arti singkatnya peduli.

Pendirian band ini sebagai bentuk karya pertunjukan, workshop tentang masalah genekologi karawitan lokal, juga sebagai sistem membuat ritme melalui persilangan birama.

Band ini kelanjutan dari Zithermania, yang didirikan Dedy S Hadianda, yang karena kesibukannya tahun 2003 memilih vakum. Padahal Zithermania sudah melanglang hingga ke Prancis dan Belgia.

Pendirian Malire Band, menurut Dedy, diilhami konsep kreativitas dalam dimensi eksplorasi dan penggalian karawitan Sunda yang tidak dibatasi kebudayaan.

"Band ini tidak mengusung jenis musik apa pun. Jadi, bebas saja mau musik apa saja masuk dalam band ini. Yang terpenting band ini merupakan cara baru mengerjakan musik dengan intelektual, tidak hanya intuisi," ujar Dedy, yang juga dosen komposisi jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, saat berbincang dengan Tribun, Selasa (19/5).

Band ini digawangi oleh sebelas personel. Mereka berasal dari alumni serta mahasiswa STSI dan kampus lain di Bandung. Ada nama Ricky yang memegang biola, lalu Agung memainkan gitar dan Feby Febrian pada bass. Sony memainkan perkusi. Trio Vina, Putri, dan Dida sebagai vokalis. Resa memainkan perkusi dan biola. Cucu pada kendang, Isep memainkan tarempong, alat musik tradisional dari Minangkabau, dan Dedy memegang kacapi sekaligus sebagai komposer dan pendiri band ini.

"Siapa saja bisa masuk menjadi personel ini. Yang terpenting dia memiliki ide untuk band ini. Jika tidak, bagaimana Malire band dapat berkarya," kata Dedy.

Ide dalam bermusik, menurutnya, berasal dari kehidupan sehari-hari dan tidak ada batas apa pun. Segala hal yang ada dalam kehidupan bisa dibuat musik, mulai dari orang pacaran dan sebagainya.

Diakui Dedy, band ini merupakan kelompok studi eksplorasi dalam menyerap kearifan lokal, intelegensi lokal dengan perspektif baru.
Saat ini Malire baru menjelajahi untuk pementasan di Bandung. Juni mendatang akan tampil di Ciamis dan pihaknya berharap dapat sampai ke luar negeri seperti halnya Zithermania.

Terkait apresiasi masyarakat terhadap bandnya, Dedy menjelaskan, masyarakat Indonesia jauh berbeda dengan di luar negeri. Di sana, seni dan budaya dianggap sebagai situs ilmiah dan masyarakatnya sangat kuat dalam mengapresiasi musik, sedangkan di Indonesia seni dan budaya lebih dianggap sebagai hiburan.

"Di luar negeri, masyarakat sangat beda dalam mencermati musik, apresiasi musik sangat kuat, dari mulai pendidikan TK sudah diajarkan tentang musik, sedangkan di Indonesia pengajaran untuk karya seni rendah," imbuhnya.

Untuk komersialisasi, menurutnya, semua musik bisa dikomersialkan tergantung bagaimana manajemen mengemasnya. Karena rumusannya hanya satu: 10 persen kemasan produk dan 90 persen keandalan manajemen. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar